‘Mengapa Saya Meninggalkan Syiah’ (2)
By Saefullah
SAYYID Husain Al-Musawi bukanlah nama yang asing di kalangan Syiah. Ia adalah seorang ulama besar Syiah yang lahir di Karbala dan belajar di Hauzah sampai ia mendapat gelar “Mujtahid”. Dia juga memiliki posisi khusus di mata Imam Ayatullah Khomeini.
Setelah melalui perjalanan spiritual yang panjang, ia akhirnya meninggalkan Syiah, karena ia menemukan begitu banyak penyimpangan dan kesalahan di dalamnya. Artikel ini dikutip dari bukunya, ‘Mengapa Saya Meninggalkan Syiah’, yang dijadikan tanggung jawabnya terhadap Allah dan sebelum ia akhirnya dibunuh.
KEPERCAYAAN yang paling tinggi di antara para pengikut Syiah adalah prioritas pada Ahlul Bait. Dalam madzhab Syiah, semuanya didasarkan pada cinta untuk Ahlul Bait. Syiah memungkiri diri terhadap orang awam, yaitu kaum Ahli Sunnah, memungkiri diri dari tiga khalifah dan Aisyah binti Abu Bakar karena sikap mereka terhadap Ahlul Bait.
Apa yang berakar dalam pikiran setiap Syiah, baik itu muda ataupun tua, pintar ataupun bodoh, laki-laki ataupun perempuan, adalah bahwa para sahabat telah melakukan ketidakadilan terhadap Ahlul Bait, menumpahkan darah mereka menjadikannya halal. Kepercayaan ditanamkan oleh ulama dan mujtahid dari Syiah adalah bahwa musuh terbesar mereka adalah Ahlus Sunnah. Hal ini karena orang-orang Sunni dianggap najis di mata kaum Syiah, bahkan jika mereka membersihkannya seribu kali, najis itu tidak akan lenyap.
Hampir semua buku Syiah yang saya pelajari penuh dengan bahasa kasar dan berada di luar akal sehat. Berbagai penghinaan, fitnah dan kata-kata kotor tersebar di setiap buku. Bahkan, seringkali, apa yang diungkapkan tidak memiliki logika. Silakan baca Al-Kafi, Nahjul Balaghah, Al Ihtijaj dan Rijal Kishi.
Jika kita ingin menjelajahi segala sesuatu yang dikatakan tentang Ahlul Bait, diskusi akan diperpanjang, karena tidak ada satupun di antara mereka yang bebas dari kata-kata kotor, kalimat busuk atau tuduhan hina.
Bacalah ini, “Rasulullah tidak tidur sampai dia mencium bagian depan wajah Fatimah,” (Bihar Al-Anwar, 43/44).
“Rasulullah menyimpan wajahnya pada kedua payudara Fatimah,” (Bihar Al-Anwar 43/78).
Sebuah penghujatan yang sangat keji, bagaimana bisa Rasulullah, yang mulia, melakukan semua hal yang tidak logis?
Nikah mut’ah
Nikah mut’ah dipraktikkan dalam bentuk yang paling buruk, para wanita telah dipermalukan dan dihinakan. Sebagian besar dari Syiah memenuhi hawa nafsu mereka atas nama agama, ya yang disebut mut’ah itu.
Mereka menyampaikan berbagai riwayat yang memberikan motivasi untuk melakukan mut’ah, menetapkan dan merinci keuntungannya, serta hukuman bagi mereka yang tidak melakukannya. Bahkan mereka yang tidak mempraktikkan mut’ah dianggap kafir. Seperti Saduq meriwayatkan dari As Shadiq, ia berkata, “Memang, mut’ah adalah agamaku dan agama ayah saya. Barangsiapa menyangkal hal itu, berarti dia mengingkari agama kami dan memiliki aqidah selain agama kami,” (Man La Yahdhuruhu Al Faqih, 3/366). Ini adalah deklarasi kafir pada orang-orang yang menolak mut’ah.
Untuk memperkuat lebih lanjut mut’ah ini, nama Rasulullah bahkan dibawa masuk, seperti ditulis dalam “Man La Yahdhuruhu Al Faqih”, 3/366, “Barangsiapa yang mut’ah dengan seorang wanita, ia akan aman dari murka Allah. Barangsiapa melakukan mut’ah dua kali, ia akan dikumpulkan bersama-sama dengan orang-orang dari kebaikan. Barangsiapa yang mut’ah tiga kali, dia akan berdampingan dengan aku di dalam Firdaus. ”
Ini adalah roh dari kata-kata yang mendorong ulama kota Najaf—yang dikenal sebagai kota pengetahuan, untuk melakukan mut’ah dengan banyak wanita. Seperti ulama ‘Sayiid Shadr, Barwajardi, Syairazi, Qazwani, Sayyid Madani dan banyak lainnya.
Periksa riwaayah ini. Dari Sayyid Fathullah Al Kasyani, ia meriwayatkan dalam Tafsir Manhaj As-Sadiqin, dari Nabi SAW, sesungguhnya ia berkata, “Barangsiapa yang mut’ah sekali, statusnya seperti Husain AS, orang yang melakukannya dua kali, statusnya seperti Hasan AS, orang yang melakukannya tiga kali, statusnya sama dengan Ali Bin Abu Thalib, dan barangsiapa yang mut’ah empat kali, statusnya sama dengan statusku.”
Jelas, hal itu tidak masuk akal. Katakanlah ada seorang pria jahat melakukan mut’ah sekali, statusnya sama dengan Husain AS, dan kemudian mut’ah dua kali, statusnya naik lagi. Semudah itukah? Apakah status Rasulullah SAW dan para imam begitu rendah? [sa/islampos/poj]
No comments:
Post a Comment