Followers

Wednesday 31 July 2013


‘Mengapa Saya Meninggalkan Syiah’ (3)

By  

tehran_city_wallpaper-wideSAYYID Husain Al-Musawi bukanlah nama yang asing di kalangan Syiah. Ia adalah seorang ulama besar Syiah yang lahir di Karbala dan belajar di Hauzah sampai ia mendapat gelar “Mujtahid”. Dia juga memiliki posisi khusus di mata Imam Ayatullah Khomeini.
Setelah melalui perjalanan spiritual yang panjang, ia akhirnya meninggalkan Syiah, karena ia menemukan begitu banyak penyimpangan dan kesalahan di dalamnya. Artikel ini dikutip dari bukunya, ‘Mengapa Saya Meninggalkan Syiah’, yang dijadikan tanggung jawabnya terhadap Allah dan sebelum ia akhirnya dibunuh.
________
KETIKA Imam Khomeini tinggal di Iraq, saya pergi bolak-balik untuk mengunjunginya. Saya belajar langsung dari dia, sehingga hubungan antara saya dan dia menjadi begitu dekat. Pada suatu waktu, ia bermaksud pergi ke kota dalam rangka memenuhi undangan, yaitu kota yang terletak di bagian barat Mosul, yang dapat dicapai dalam waktu sekitar setengah jam dengan mobil.
Imam Khomeini meminta saya untuk pergi bersamanya. Kami diterima dan dihormati dengan suatu kehormatan yang luar biasa selama kami tinggal dengan salah satu keluarga Syiah yang tinggal di sana. Dia telah berjanji setia untuk menyebarkan akidah Syiah di wilayah itu.
Ketika kunjungan berakhir dan dalam perjalanan pulang, di jalan, kami kembali melewati Baghdad dan Imam Khomeini ingin beristirahat dari perjalanan melelahkan itu. Lalu ia memerintahkan agar kami ke daerah resor di mana tinggal seorang pria dari Iran bernama Sayyid Sahib. Ada persahabatan yang cukup kuat antara dirinya dan Imam.
Sayyid Sahib meminta kami untuk menginap di tempatnya malam itu dan Imam Khomeini setuju.
Ketika waktu Isya datang, makan malam untuk kami disajikan. Orang-orang yang menghadiri tangan Imam mencium dan bertanya kepadanya pertanyaan mengenai sejumlah isu dan Imam menjawab mereka.
Ketika tiba waktunya untuk tidur dan orang-orang sudah pulang, Imam Khomeini melihat seorang gadis kecil, usianya sekitar 5 tahun tapi dia sangat cantik. Imam meminta kepada ayahnya, yaitu Sayyid Sahib, untuk menyajikan gadis itu kepadanya sehingga dia bisa melakukan mut’ah dengannya. Si ayah setuju, malah merasa sangat senang. Jadi Imam Khomeini tidur dan gadis itu dalam pelukannya, sementara kami mendengar tangisan dan jeritan seorang anak.
Malam lewat. Ketika pagi datang, kami duduk dan sarapan. Imam menatap saya dan melihat tanda-tanda yang sangat jelas tidak senang dalam diri saya dan ketidaksepakatan di wajah saya, karena bagaimana ia bisa melakukan mut’ah dengan seorang gadis kecil, sedangkan di rumah ada gadis yang sudah baligh (remaja)?
Imam Khomaini bertanya padaku, “Sayyid Husain, apa pendapat Anda tentang melakukan mut’ah dengan anak kecil?”
Saya bertanya, “Kata-kata yang paling tertinggi adalah kata-kata Anda, apa yang benar adalah tindakan Anda, dan Anda adalah seorang imam mujtahid. Tidaklah mungkin bagi saya untuk mengutarakan pendapat atau mengatakan kecuali sesuai dengan pendapat Anda dan kata-kata. Perlu dipahami bahwa tidak mungkin bagi saya menentang fatwa Anda. ”
Lalu ia berkata, “Sayyid Husain, memang berkuasa memiliki mut’ah dengan anak kecil diperbolehkan tetapi hanya dengan cumbuan, ciuman dan meremas dengan paha. Adapun hubungan seksual, memang dia tidak cukup kuat untuk melakukannya. ” Lihat juga kitab Imam Khomeini yang berjudul “Tahrir Al Wasilah”, 2/241, nomor 12, yang memungkinkan mut’ah dengan bayi yang masih menyusu.
Mut’ah dengan Perempuan Menikah
Jadi jelas, kerusakan yang disebabkan oleh mut’ah sangat besar dan kompleks.
Antara lain:
Pertama, mut’ah melanggar nas dari syariat, membuat halal apa yang haram yang sudah ditentukan oleh Allah.
Kedua, riwayat palsu yang beragam dan atribusi mereka kepada sang imam, sedangkan di dalamnya mengandung penyalahgunaan yang yang akan membuat marah seseorang yang masih memiliki setitik iman dalam hatinya.
Ketiga, kerusakan yang ditimbulkan oleh mut’ah dengan seorang wanita yang sudah memiliki suami. Seorang suami tidak akan merasa aman terhadap istrinya karena kemungkinan nanti istrinya akan menjalani nikah mut’ah dengan pria lain. Ini adalah kerusakan dalam kerusakan! Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang suami yang tahu bahwa istri yang berada di bawah wewenangnya melakukan mut’ah dengan pria lain.
Keempat, para ayah di luar sana juga merasa tidak aman akan putri mereka, karena ada kemungkinan bahwa anak perempuan mereka melakukan mut’ah tanpa izin, dan kemudian tiba-tiba hamil, sedangkan siapa ayah bayi itu tidak diketahui.
Kelima, kebanyakan orang yang mut’ah membiarkan diri mereka melakukan nikah mut’ah tetapi akan keberatan jika anak perempuan mereka kawin dengan cara mut’ah. Mereka sadar bahwa mut’ah ini mirip dengan zina (zina) dan merupakan aib (malu) untuk mereka, tetapi mereka sendiri melakukannya kepada anak-anak perempuan orang lain. Seandainya nikah mut’ah adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh Syariah, mengapa kebanyakan ayah merasa segan untuk mengizinkan anak perempuan mereka atau kerabatnya melakukan mut’ah?
Keenam, dalam perkawinan mut’ah, tidak ada saksi, pengumuman, dan persetujuan dari wali perempuan, dan hukum waris suami-istri tidak berlaku,. Tunjangan mut’ah akan membuka peluang untuk orang dewasa untuk tenggelam dalam genangan dosa yang akan merusak citra agama.
Jadi bahaya mut’ah sangat jelas dari sudut pandang agama, kehidupan moral dan sosial. Jadi mut’ah haram karena mengandung banyak bahaya.
Klaim bahwa larangan ini hanya berlaku khusus pada hari Khaibar, adalah klaim yang tidak didasarkan pada dalil. Selain itu, jika larangan ini hanya berlaku pada hari Khaibar, pasti ada penegasan dari Rasulullah. Arti dari kata-kata yang dilarang menikah mut’ah pada hari Khaibar adalah bahwa, larangan yang dimulai pada hari Khaibar sampai hari kiamat. Adapun kata-kata ulama ulama Syiah, mereka mengejek nas dari syariat tersebut.
Seorang wanita datang kepada saya menceritakan kejadian yang menimpa dirinya. Wanita itu mengatakan bahwa ia telah nikah mut’ah dengan seorang tokoh berpengaruh dan ulama ‘, Sayyid Husain Sadr, dua puluh tahun yang lalu, dan dia hamil. Setelah puas, tokoh itu menceraikannya. Dia bersumpah bahwa dia hamil dari hubungan dengan Sayyid Sadr, karena tidak ada orang lain melakukan mut’ah dengannya kecuali Sayyid Sadr.
Setelah putrinya berubah menjadi dewasa, ia menjadi seorang wanita cantik dan siap untuk menikah. Namun ibunya mengetahui bahwa sang putri telah hamil. Ketika bertanya tentang hal itu, dia mengatakan bahwa dia telah menjalani nikah mut’ah dengan Sayyid Sadr dan kehamilannya adalah karena mut’ah nikah itu. Sang ibu kaget dan kehilangan kendali dan mengatakan bahwa Sayyid Sadr adalah ayahnya. Dan kemudian ibu itu menceritakan kisah itu kepada putrinya, daging dan darah Sayiid Sadr! Di Iran, insiden tersebut terjadi berkali-kali! [sa/islampos/poj]

No comments: